DISTORSI INFORMASI & BULLWHIP EFFECT

Distorsi informasi dalam supply chain merupakan suatu kendala yang menghambat terciptanya supply chain yang efisien. Distorsi informasi ini disebabkan oleh Informasi order ke pihak upstream yang lebih fluktuatif dibandingkan informasi demand dari pihak downstream sesungguhnya. Misalnya pada suatu produk diketahui memiliki demand dari konsumen ke retailer yang relatif stabil dari waktu ke waktu, namun ditemukan pola order dari retailer ke manufacturer lebih berfluktuatif, begitu pula pola order dari manufacturer ke supplier semakin fluktuatif. Fenomena seperti ini yang disebut sebagai Bullwhip Effect.

Dari grafik diatas terlihat ada kenaikan fluktuasi yang bergerak makin tinggi dari arah downstream ke arah upstream.

Permasalahannya adalah bagaimana kita bisa mendeteksi dan mengetahui penyebab terjadinya distorsi informasi ini. Apakah dikarenakan hal yang bersifat irasional atau justru suatu mekanisme yang didasari atas pertimbangan rasional?

Menurut Lee et. al. (1997) ada 4 penyebab utama terjadinya bullwhip effect yaitu:

  • Demand Forecast Updating

Perubahan jumlah demand dari yang telah direncanakan dalam MPS (Master Production Schedule). Hal ini terjadi biasanya akibat dari kesalahan peramalan demand, kapasitas produksi menurun, breakdown atau trend.

  • Order Batching

Ketentuan pemesanan barang pada jumlah tertentu yang ditetapkan oleh pihak supplier. Misalnya kebutuhan pemesanan barang pada periode ini adalah 45 unit, sedangkan jumlah minimum pemesanan adalah 1 lot (20 unit). Maka jumlah yang akan dipesan adalah 3 lot (60 unit), kelebihan 15 unit tersebut dapat berpengaruh terhadap tingkat persediaan (inventory). 

  • Price Fluctuation

Fluktuasi harga dapat mempengaruhi jumlah demand dari suatu barang. Demand dari suatu barang tersebut dapat meningkat tajam apabila harga barang tersebut turun signifikan dan berlaku sebaliknya. Akibatnya, terjadi perubahan demand signifikan pada level upstream yang menyebabkan bullwhip effect.

  • Rationing & Shortage Gaming

Upaya pemenuhan demand berdasarkan jumlah persediaan (inventory) di gudang. Misalnya di gudang terdapat persediaan (inventory) 90 unit barang sedangkan periode ini ada demand sebanyak 100 unit dan penjual hanya memenuhi 90 unit saja sehingga terjadi shortage sebesar 10 unit. Pelanggan yang sadar akan hal ini pada periode berikutnya akan meningkatkan jumlah pesanannya agar pesanannya dapat terpenuhi.

Franso dan Wouters (2000) mengemukakan bahwa bullwhip effect pada suatu eselon supply chain adalah perbandingan antara koefisien variansi dari order yang diciptakan oleh eselon tersebut dan koefisien variansi dari demand yang diterima oleh eselon tersebut.

Apabila hasil perbadingan antara CVorder dan CVdemand nilainya lebih besar dari 1 (1 = seimbang = tidak terjadi bullwhip effect), maka diindikasikan eselon tersebut memiliki persediaan (inventory) berlebih di gudang. Jika hasil perbandingannya lebih kecil dari 1, maka diindikasikan eselon tersebut tidak selalu dapat memenuhi jumlah demand yang mereka terima (backlog).

Contoh Perhitungan Bullwhip Effect dari suatu produk pada retailer dengan rekapitulasi demand dan order sebagai berikut:

Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 Mean St.Dev CV
Demand 22 15 54 30 40 35 45 20 32.63 13.42 0.41
Order 0 79 0 120 0 0 20 0 27.38 46.36 1.69

Berdasarkan hasil perhitungan diatas diketahui nilai bullwhip effect adalah 4.12. Nilai 4.12 tersebut mengindikasikan adanya penumpukan jumlah persediaan (inventory) di gudang retailer. Hal ini memungkinkan terciptanya ongkos pemeliharaan barang persediaan (inventory) yang tinggi dan tingginya resiko barang persediaan (inventory) yang rusak atau resiko lain akibat kesalahan perlakuan penyimpanan.

Cara Mengantisipasi/Mengurangi Bullwhip Effect

  • Information Sharing.

Bullwhip effect bias terjadi karena terisolasinya proses prakiraan permintaan di setiap pelaku supply chain. Membagi informasi demand ke seluruh pelaku dalam supply chain maka demand management dapat dilakukan lebih baik untuk menjamin semua pelaku meramalkan dengan data yang valid dan dengan teknologi informasi yang handal untuk transmisi.

  • Memperpendek atau mengubah struktur Supply Chain.

Semakin kompleks struktur jaringan dalam supply chain → resiko terjadi distorsi informasi akan semakin besar.

  • Pengurangan Ongkos Tetap.
  • Menciptakan Stabilitas Harga.

Program penentuan harga terkoordinasi dengan baik antar pelaku rantai pasok → perlu teknologi informasi.

  • Pemendekan Lead Time.

Dapat dilakukan dengan pemilihan supplier local dengan, perubahan moda transportasi dan penjadwalan produksi sehingga ketersediaan barang persediaan (inventory) akan terjaga.

Kontributor : Tjahjo Dirgantoro

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *